Latest News

Waspadai Efek Pemakaian Antibiotik Pada Ternak Terhadap Kesehatan Manusia

Pemakaian Antibiotika pada Ternak dan Dampaknya pada Kesehatan Manusia 


Pemakaian antibiotika pada binatang baik sebagai pencegahan dan pengobatan penyakit maupun sebagai pemacu pertumbuhan berkontribusi untuk terjadinya resistensi foodborne bakteria baik pada insan maupun hewan. Beberapa foodborne kuman menyerupai Salmonella, Campylobacter, Enterococci, dan Escherichia coli yang resisten terhadap antibiotika telah terbukti sanggup mentransfer faktor genetik ke insan melalui rantai masakan atau secara kontak langsung. Resistensi antibiotika terhadap kuman patogen menimbulkan terjadinya kegagalan pengobatan terhadap benjol pada insan dan meningkatkan biaya pengobatan. Pengendalian terjadinya resistensi antibiotika terhadap kuman patogen sanggup dilakukan dengan melaksanakan acara surveillens terhadap pemakaian antimikroba di peternakan dan surveilens terhadap tingkat terjadinya resistensi antibiotika.
Macam-macam Jenis Antibiotik Yang Sering Digunakan Pada Ternak, Berapa Konsentrasi dan Dosis Yang Diijinkan?
 
Resistensi antibiotika terhadap kuman patogen pada insan menjadi problem di seluruh dunia. Terjadinyanya resistensi antibiotika ini disebabkan pemakaian antibiotika yang tidak bijaksana untuk pengobatan pada insan serta pemakaian antibiotika pada binatang sebagai pemacu pertumbuhan (antibiotic growth promotors/AGP) yang empunyai donasi terjadinya resistensi antibiotika baik pada insan maupun binatang (BARTON, 2000).

Antibiotika banyak digunakan sebagai AGP dalam pakan ternak di seluruh dunia untuk memacu pertumbuhan ternak biar sanggup tumbuh lebih besar dan dalam waktu yang lebih cepat serta untuk mencegah terjadinya benjol (MITCHELL et al., 1998; VAN DEN BOGAARD et al., 2000; dan RADETSKY, 1998). Beberapa antibiotika yang banyak digunakan sebagai AGP antara lain dari golongan tetracyclin, penicillin, macrolida, lincomysin dan virginiamycin (ANGULO et al., 2004).

Resistensi antibiotika terhadap kuman mengakibatkan terjadinya penyakit yang sangat serius pada insan berupa kegagalan pengobatan terhadap benjol gastrointestinal yang disebabkan oleh Campylobacter dan Salmonella (NEIMAN et al., 2003; SMITH et al., 1995; WHO, 2003). Kejadian resistensi antibiotika terhadap kuman yang diisolasi dari pasien penderita diare di beberapa rumah sakit di Indonesia juga telah dilaporkan oleh TJANIADI et al. (2003).

Beberapa foodborne kuman menyerupai Salmonella, Campylobacter, Enterococci, dan Escherichia coli yang resisten terhadap antibiotika telah terbukti sanggup mentransfer gen resisten ke insan melalui rantai masakan atau secara kontak pribadi (VAN DEN BOGAARD et al., 2000 and STOBBERINGH, 1999; BUTAYE et al., 2003; WHO, 1997). Oleh lantaran itu di beberapa negara telah dibuat agensi untuk melaksanakan acara surveilens dalam hal memonitor resistensi antibiotika pada foodborne patogen, sebagai pola NARMS (National Antimicrobial Resistance Monitoring System) di USA yang dibuat pada tahun 1996. Beberapa agensi lainnya menyerupai Commicion on Antimicrobial Feed Additives di UK dan JETACAR di Australia juga telah melaksanakan surveilans untuk melaksanakan kontrol terhadap pemakaian antibiotika pada hewan.

ANTIBIOTIKA PADA HEWAN
Pemakaian antibiotika pada binatang untuk pengobatan, pemacu pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi pakan dimulai pada awal tahun 1950 (MELON et al., 2001). Sampai ketika ini Centers Diseases Control (CDC) memperkirakan sekitar 40% antibiotika di dunia digunakan sebagai imbuhan pakan ternak untuk memacu pertumbuhan (AGP) Sebagai imbuhan pakan, antibiotika sanggup memacu pertumbuhan ternak biar sanggup tumbuh lebih besar dan lebih cepat serta sanggup mencegah terjadinya benjol kuman (MITCHELL et al., 1998; VAN DEN BOGAARD et al., 2000; dan RADETSKY, 1998).

Antibiotika banyak digunakan dalam industri peternakan untuk mencegah benjol E.coli (WITTE, 1998 dan LEVY et al., 1987) lantaran walaupun E. coli merupakan kuman komensal namun sanggup menjadi fatal bila terjadi septicemia yang sanggup diikuti terjadinya benjol mycoplasmosis atau benjol virus menyerupai bronchitis pada ayam (BURCH, 2000).

AGP juga sanggup meningkatkan konversi pakan dan pertumbuhan binatang serta mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akhir benjol bakteri. Penambahan AGP dalam pakan sanggup meningkatan pertumbuhan binatang hingga dengan 4-8% dan meningkatkan konversi pakan dari 2 menjadi 5% (EWING dan COLE, 1994).

Konsentrasi antibiotika yang ditambahkan dalam pakan ternak merupakan takaran rendah yaitu berkisar 2,5 – 12,5mg/kg (ppm) (WITTE, 1998 dan LEVY et al., 1987), namun hal ini terbukti sanggup memacu terjadinya resistensi kuman patogen dan kuman komensal dalam kanal pencernaan (BRADBURY dan MUNROE, 1985; COHEN dan TAUXE, 1986; dan HOLMBERG et al., 1987).

Mekanisme kerja AGP sebagai pemacu pertumbuhan masih belum diketahui secara pasti. Ada indikasi yang menawarkan bahwa kegiatan dari AGP sebagai pemacu pertumbuhan dipengaruhi oleh imbas antibakterial antibiotika. Ada beberapa teori yang menjelaskan prosedur kerja dari AGP yaitu: antibiotika membantu menjaga nutrisi dari destruksi bakteri, antibiotika membantu meningkatkan perembesan nutrisi lantaran menciptakan barier dinding dari usus halus menjadi tipis, antibiotika sanggup menurunkan produksi toksin dari kuman kanal pencernaan dan menurunkan insiden benjol kanal pencernaan subklinik (FEIHGNER dan DASHKEVICS, 1987).

Antibiotika ditambahkan dalam pakan unggas untuk mencegah dan mengobati colibacillosis and staphylococcosis. Antibiotika pada sapi digunakan untuk mengobati mastitis dan penyakit kanal pernafasan. Pemakaian AGP sanggup meningkatkan prevalensi resistant bakteria dan meninggalkan residu antibiotika pada produk asal ternak (LEVY et al., 1987; CORPET, 1996) yang sanggup mengganggu kesehatan insan yang mengkonsumsinya.
Jenis-jenis antibiotika yang sering digunakan pada peternakan adalah:
1. Bacitracin Ayam, kalkun, babi, sapi perah
2. Bambermycin Ayam, kalkun, babi
3. Chlortetracycline Ayam, kalkun, babi, sapi perah, kambing
4. Erytromycin Ayam, kalkun
5. Hygromycin Ayam, babi
6. Lasalocid Ayam, babi
7. Monensin Ayam, kalkun, babi
8. Neomycin Ayam, kalkun, babi, sapi perah, kambing
9. Nystatin Ayam, kalkun
10. Olendomycin Ayam, kalkun, babi
11. Oxytetracycline Ayam, kalkun, babi, sapi perah, kambing
12. Penicilline Ayam, kalkun, babi
13. Salinomycin Ayam, sapi perah
14. Streptomycin Ayam, sapi perah
15. Tylosin Ayam, babi, sapi perah
16. Virginiamycin Ayam, kalkun, babi
17. Sulfanamides Ayam, kalkun, babi

TRANSFER RESISTEN BAKTERI DAN RESISTEN GENETIK DARI HEWAN KE MANUSIA
Banyak bukti dari beberapa studi perkara yang mengindikasikan terjadinya penyebaran secara pribadi kuman komensal enterobacter yang resisten dari binatang ke insan (LEVY et al., 1976; HUNTER et al., 1994; BOGAARD,1997, STOBBERRINGH et al., 1999).

Namun walaupun sangat gampang untuk menemukan patrun yang sama antara kuman yang resisten dari binatang dengan dari manusia, hingga ketika ini hanya beberapa kuman yang sanggup diisolasi dari masakan (KLEIN et al., 1998, MANIE et al., 1998, DUFFY et al., 1999).

Bakteri komensal yang resisten terhadap antibiotik sanggup mentransfer gen resisten tersebut ke kuman patogen (HUMMEL et al.,1986; LESTER et al., 1990; BOGAARD, 2000).

Escherichia coli merupakan kuman komensal pada insan dan binatang yang dilaporkan memiliki kemampuan mentransfer isyarat gen resisten ke spesies lain termasuk kuman patogen (BERKOWITZ dan METCHOCK, 1995; CHASLUS-DANCLA et al., 1986; HUMMEL et al.,1986; NIKOLICH et al., 1994).

Bakteri yang resisten terhadap antibiotika sanggup menurunkan gen yang resisten melalui 3 cara (LEWIS, 1995), yaitu:

Mutasi DNA secara spontan
DNA kuman (materi genetik) mungkin mengalami mutasi atau perubahan secara spontan, sebagai pola kuman Multi drug resisten tuberculosis.

Transformasi
Salah satu kuman mengambil DNA dari kuman lainnya, sebagai pola Pencillinresistant gonorrhea.

Plasmid
Plasmid sanggup flit dari satu tipe kuman ke tipe kuman lain. Sebuah plasmid singgel sanggup membentuk majemuk resistensi bakteri. Plasmid mikroba sanggup membawa faktor resistensi terhadap 4 macam antibiotika Penelitian dengan teknik molekular juga mengambarkan bahwa pemakaian antibiotika berlebihan pada ternak menimbulkan resistensi kuman pada insan (MCEWEN dan FEDORKACRAY,2002; SWARTZ, 2002).

Terjadinya resistensi antibiotika apramycin terhadap strain Salmonella dan E. coli yang diisolasi dari insan merupakan bukti positif bahwa organisme yang resisten sanggup ditransfer dari binatang ke manusia, lantaran apramycin tidak digunakan untuk pengobatan pada insan (WRAY et al., 1986, HUNTER et al., 1993).

Campylobacter jejuni merupakan foodborne kuman yang telah mengalami resistensi terhadap antibiotika fluoroquinolon sesudah enrofloxacin digunakan pada unggas di Eropa (JACOBS-REITSMA et al., 1994; VELAZQUES et al., 1995). Riset di USA mengindikasikan bahwa strain kuman dari ayam yang resisten terhadap fluoroquinolon secara molekuler subtyping sama dengan strain kuman yang resisten terhadap fluoroquinolon pada insan (SMITH et al., 1998).

DAMPAK PEMAKAIAN ANTIBIOTIKA PADA HEWAN TERHADAP KESEHATAN MANUSIA
Food-borne kuman yang resisten terhadap antibiotika sanggup menimbulkan terjadinya resistensi antibiotika terhadap manusia. Foodborne kuman menyerupai E. coli dan Salmonella yang mencemari karkas sanggup menimbulkan benjol pada insan yang mengkonsumsinya dan kalau kuman tersebut resisten terhadap antibiotika maka sanggup menimbulkan penyakit yang serius akhir kegagalan pengobatan dengan antibiotika.

Walaupun data mengenai kegagalan pengobatan pada insan akhir terjadinya resistensi antibiotika sangat terbatas banyak bukti yang menawarkan gangguan kesehatan pada insan akhir terjadinya resistensi organisme.

Di Indonesia tidak banyak data yang dipublikasikan wacana tingkat insiden resistensi antibiotika terhadap kuman patogen.

Hasil isolasi kuman dari pasien penderita diare di beberapa rumah sakit di Indonesia telah resisten terhadap beberapa antibiotika. Sebagai contoh, Shigella spp. dan Vibrio cholerae resisten terhadap ampicillin, trimethrophinsulfamethoxazol, chloramphenicol and tetracycline. Resistensi Salmonella spp. terhadap antibiotika bervariasi tergantung dari spesies, sedangkan kuman Campylobacter jejuni menawarkan kenaikan resistensi terhadap cetriaxone, norfloxacin, dan ciprofloxacin (TJANIADI et al., 2003).

Dampak resistensi antibiotika terhadap gangguan kesehatan insan sanggup dikategorikan menjadi 2 yaitu:

Terjadinya benjol yang seharusnya tidak terjadi
Pemakaian antibiotika pada insan dan binatang mengganggu mikroflora usus yang menempatkan seseorang tersebut memiliki resiko terjadinya benjol kuman tertentu.

Seseorang yang membawa biro antimikrobial menimbulkan naiknya resiko menjadi terinfeksi kuman patogen yang resisten terhadap antibiotika tersebut. Hal ini sanggup diekspresikan sebagai “attributable fraction”, yang didefinisikan sebagai benjol kuman sebagai pola Salmonella tidak akan terjadi kalau Salmonella tidak mengalami resistensi terhadap antibiotika.

Resistensi antibiotika terhadap Salmonella berakibat tingginya insiden infeksi, rawat inap, dan kematian. Dalam hal hubungannya dengan “attributable fraction” di US lebih dari satu juta benjol Salmonella dan Campylobacter setiap tahun terjadi (BARZA et al., 2002), dengan estimasi sekitar 30.000 perkara benjol Salmonella mengakibatkan 300 penderita menjalani rawat inap di rumah sakit dan 10 pasien mengalami kematian, sedangkan untuk 18.000 perkara benjol Campylobacter jejuni menimbulkan 100 pasien dirawat inap.

Naiknya frekuensi kegagalan pengobatan dan naiknya benjol yang berat
Naiknya frekuensi kegagalan pengobatan dan naiknya benjol yang berat dimanifestasikan dengan lamanya waktu pengobatan, naiknya frekuensi sistemik infeksi, naiknya usang waktu rawat inap, atau tingginya angka kematian. Lama waktu pengobatan telah ditunjukkan pada 16 studi perkara dari insiden resistensi Campylobacter terhadap fluoroquinolon. Pasien penderita campylobacteriosis yang resisten terhadap fluoroquinolon apabila diberi pengobatan ratarata lamanya insiden diare lebih usang beberapa hari dibandingkan dengan pasien yang sensitiv terhadap fluoroquinolon.

Investigasi oleh CDC di USA pada tahun 1987 menawarkan bahwa 28 outbreak Salmonella yang terjadi antara tahun 1971 hingga 1983 disebabkan oleh resistensi antimikroba terhadap Salmonella yang berakibat pasien lebih usang di rawat inap di rumah sakit. Kegagalan pengobatan terhadap benjol Salmonella yang berakibat kematian diduga lantaran tingginya prevalensi insiden resistensi antibiotika terhadap Salmonella. Rata-rata kematian pasien dengan multidrug resistensi diestimasikan 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang suseptibel terhadap antibiotika (HELMS et al., 2002).

MEKANISME RESISTENSI BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIKA
Resistensi sel kuman yakni suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroorganisme oleh antimikroba (GANISWARA et al., 1995).

Sifat ini merupakan suatu prosedur alamiah kuman untuk bertahan hidup. Resistensi antibiotika terhadap kuman sanggup terjadi dengan banyak sekali alasan menyerupai overcrowding yang memudahkan terjadinya transfer kuman antar personal, tingginya travelling dan perdagangan yang sanggup berbagi strains resisten secara global, penggunaan antibiotika yang berlebihan pada insan dan binatang (SPACH dan BLACK,1998; LEWIS, 1995).

Tipe resistensi kuman terhadap antibiotika sanggup bersifat non genetik yaitu kuman sanggup mengalami resistensi intrinsik spesifik terhadap antibiotika, atau resistensi sanggup terjadi genetik melalui mutasi atau transfer gen antara kuman (HAWKEY, 1998).

Mekanisme terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotika sanggup terjadi dengan
banyak sekali cara, yaitu:

Alteration sasaran (gangguan pada target)
Target utama diganggu sehingga antibiotika tidak memiliki imbas yang lama, sebagai pola penambahan kelompok methyl ke 23S ribosom dari RNA sanggup mencegah erythromycin untuk mengikat 23S rRNA sehingga sel menjadi resisten.

Replacement sasaran (target diganti)
Target yang sensitif masih di dalam sel tetapi adanya komponen yang dibuat sanggup membentuk peranan yang sama untuk menjadi resisten terhadap antibiotika, sebagai pola sulfonamid yang resisten sanggup disebabkan oleh enzim resisten gres yang dibuat dari gen yang dibawa oleh plasmid.

Perubahan transportasi sel
Sel kuman mungkin mengalami perubahan sehingga antibiotika tidak sanggup masuk ke dalam sel secara baik. Pada beberapa perkara antibiotika mungkin mengalami expelled secara aktif. Tetracyclin yakni pola antibiotika yang secara aktif mengalami expelled oleh protein tetracyclin yang resisten. Gen protein reissten dibawa oleh kebanyakan plasmid.

Inaktivasi antibiotika
Sel kuman menurunkan gen yang menciptakan enzym menghancurkan antibiotika. Sebagai contoh, beta lactamase sanggup menghancurkan penicillin dan cephalosporin. Beberapa antibiotika menyerupai chloramphenicol dan aminoglycosida sanggup diinaktivasi dengan penambahan kelompok phosphat atau kelompok acetyl.

PENANGGULANGAN RESISTENSI FOODBORNE BAKTERI

Resistensi antibiotika menimbulkan tingginya mortalitas dan morbiditas lantaran kegagalan pengobatan dan tingginya biaya kesehatan. Oleh lantaran itu identifikasi sumber terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotika sanggup mengurangi berkembangnya penyebaran resistensi dan multiresistensi bakteri.

Di UK pemakaian antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan dibatasi dengan alasan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan produksi peternakan dan telah direkomendasikan penggunaan penicillins, tetracyclines, tylosin, dan sulfonamides sebagai growth promoters dihentikan.

Untuk mengurangi resiko terjadinya resistensi antibiotika terhadap foodborne kuman di Uni Eropa telah mengimplementasikan legislasi Directive 70/524 wacana penggunaan antibiotika sebagai feed additive dengan takaran maksimum dan minimum, periode withdrawal hingga penyembelihan. Pemakaian feed additive harus mengikuti beberapa hukum yaitu harus memiliki imbas pada produksi ternak, tidak membahayakan kesehatan insan dan hewan, level antibiotika sanggup dikontrol, level antibiotika tidak boleh melebihi takaran untuk pengobatan dan pencegahan penyakit pada binatang dan tidak boleh untuk tujuan sebagai pengobatan pada hewan.

Untuk mengurangi tingkat insiden resistensi antibiotika terhadap kuman patogen perlu dilakukan:

1. Program surveilans nasional terhadap penggunaan antimikroba di luar pengobatan untuk manusia.
2. Program surveilans nasional terhadap resistensi antibiotika terhadap kuman pada masakan dan hewan.
3. Strategi implementasi pencegahan transmisi resisten bakteria dari binatang ke insan melalui rantai makanan.
4. Implementasi WHO Global Principles untuk Containment Antimicrobial Resistance pada binatang yang diperuntukan untk pangan mengikuti Guidelines OIE.
5. Implementasi taktik managemen yang spesifik untuk mencegah emergence dan dissemination resisten bakteri.
6. Implementasikan pendekatan risk assessment yang diharapkan untuk mendukung risk management.
7. Memperluas kapasitas negara khususnya di negara berkembang untuk melaksanakan surveillens terhadap penggunaan antimikroba dan tingkat resistensi,melakukan taktik implementasi risk assessment.
8. Melakukan risk management terhadap resistensi antimikroba pada area internasional.

Sumber: Susan Maphilindawati Noor dan Masniari Poeloengan (Balitvet Bogor), Materi pada Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan.

0 Response to "Waspadai Efek Pemakaian Antibiotik Pada Ternak Terhadap Kesehatan Manusia"

Total Pageviews